Category: Uncategorized


DO’A NUQUT

MEMBACA DO’A QUNUT
Sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama mengambil sikap bijaksana dengan menetapkan salah satu madzhab empat sebagai rujukan pengamalan-pengamalan dan penetapan hukum, akan tetapi secara ubudiyah, warga NU banyak yang mengikuti madzhab Syafi’i. Misalnya pada saat shalat Shubuh pada raka’at kedua setelah I’tidal warga kita membaca do’a Qunut.
Pengertian Qunut
Kata qunut berasal dari قَنَتَ يَقْنُتُ قُنُوْتًا yang artinya merendahkan diri kepada Allah. Sedangkan menurut istilah syara’ Qunut adalah membaca do’ a di dalam shalat setelah bacaan i’tidal pada rakaat akhir sambil menengadahkan kedua tangan.
Macam-Macam Qunut
A. Qunut Shubuh
Yaitu do’a qunut yang dibaca setiap shalat Shubuh pada i’tidal rakaat akhir. Sebagaimana hadits Nabi di bawah ini:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا [رواه الجماعة]
Artinya :
“Dari Anas ra. bahwa Rasulullah SA W. senantiasa membaca do’a qunut pada shalat Shubuh sampai beliau meninggal dunia, (HR. Jama’ah).
عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ قَالَ : قُلْتُ لأَنَسٍ : قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّبْحِ؟ قَالَ نَعَمْ، بَعْدَ الرُّكُوْعِ يَسِيْرًا [رواه البخاري ومسلم]
Artinya:
“Dari Ibnu Sirin dia berkata : saya bertanya kepada sahabat Anas, apakah Rasulullah SAW. itu membaca qunut? Anas menjawab : ya, sejenak sesudah ruku’, (HR. Bukhori Muslim) .
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّمُ هَذَا الدُّعَاءَ يَعْنِيْ اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ إِلَى آخِرِهِ لِيَدْعُوْا بِهِ فِيْ الْقُنُوْتِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ [رواه البيهقي]
Artinya:
“Dari lbnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW. mengajarkan kepada para sahabat do’a Allahumma ihdini … dst. agar dibaca dalam qunut shalat Shubuh”. (HR. Baihaqi)
B. Qunut Witir
Yaitu do’a qunut yang dibaca ketika shalat Witir di bulan Ramadlan pada separonya yang akhir. Sebagaimana hadits Nabi SAW.
عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِيْ الْوِتْرِ: اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ … [رواه أبو داود]
Artinya:
“Dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. dia berkata : “Aku diajari olelh Rasulullah SAW. beberapa kalimat yang aku baca pada shalat Witir, yaitu : Allahumma ihdini ….. dst”. (HR. Abu Dawud)
sebagai berikut lafadz doa qunut
Allah humah dini fiman hadait.
Wa’a fini fiman ‘afait.
Watawallani fiman tawalait.
Wabarikli fimaa a’tait.
Waqinii syarramaa qadzait.
Fainnaka taqdhi wala yuqdha ‘alaik.
Wainnahu layadziluman walait.
Walaa ya’izzuman ‘adait.
Tabaa rakta rabbana wata’alait.
Falakalhamdu ‘ala maaqadzait.
Astaghfiruka wa’atubu ilaik.
Wasallallahu ‘ala Saidina Muhammadinin nabiyil ummiyi waala aalihi wasahbihi wasalam.
C. Qunut Nazilah
Yaitu qunut yang dibaca dalam setiap shalat pada i’tidalnya rakaat yang terakhir, sewaktu kaum muslimin tertimpa musibah. Sebagaimana hadits Nabi SAW. :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلاَةِ الصُّبْحِ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ إِذَا قَالَ «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ». مِنَ الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِى سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ.[رواه أبو داود]
Artinya:
“Dari lbnu Abbas ra. dia berkata : Rasulullah SAW. Membaca qunut selama sebulau berturut-turut pada shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dun Shubuh di bagian akhir tiap-tiap shalat yaitu ketika berkata “sami’allaahu liman hamidah” pada rakaat akhir untuk mendo’akan kepada suku Bani Sulaim, Ri’lin, Dzakwan, dan ‘Ushayyah, dan orang-orang yang di belakang Rasulullah SAW. mengamininya (HR. Abu Dawud).
Hukum Membaca Do’a Qunut
Para fuqoha’ Syafi’iyyah berpendapat bahwa, qunut shubuh dan qunut witir hukumnya sunnat Ab’adl, artinya jika orang yang shalat membacanya, maka dia akan mendapat pahala, dan jika dia lupa tidak membacanya, maka disunatkan sujud sahwi. Sedangkan qunut nazilah hukumnya sunat begitu saja, yakni bagi yang membacanya akan mendapat pahala, dan bagi yang tidak membacanya tidak usah sujud sahwi.
Dalam kitab Fiqih ala Madzahibil Arba’ah juz I hal 244 disebutkan :
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا: سُنَنُ الصَّلاَةِ الدَّاخِلَةُ فِيْهَا تَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ، قِسْمٌ يُسَمُّوْنَهُ بِالْهَيْئَاتِ وَقِسْمٌ يُسَمُّوْنَهُ بِاْلأَبْعَاضِ، فَأَمَّا الْهَيْئَاتُ فَلَمْ يَحْصُرُوْهَا فِيْ عَدَدٍ خَاصٍّ …… وَعَدَدُ اْلأَبْعَاضِ عِشْرُوْنَ: 1- الْقُنُوْتُ فِي اعْتِدَالِ الرَّكْعَةِ اْلأَخِيْرَةِ مِنَ الصُّبْحِ وَمِنْ وِتْرِ النِّصْفِ الثَّانِيْ مِنْ رَمَضَانَ، أَمَّا الْقُنُوْتُ عِنْدَ النَّازِلَةِ فِيْ أَيِّ صَلاَةٍ غَيْرِ مَا ذُكِرَ فَلاَ يُعَدُّ مِنَ اْلأَبْعَاضِ وَإِنْ كَانَ سُنَّةً.
Artinya :
“Ulama Syafi’iyyah berkata : Amalan sunnat di dalam shalat itu ada dua bagian yakni : sunnat hai’at dan sunnat Ab’adl. Bilangan sunnat Abl’adl ada dua puluh : (1) Membaca Do’a Qunut pada I’tidal rakaat akhir shalat shubuh dan ketika shalat witir pada separo yang akhir di bulan Ramadlan. Adapun Qunut Nazilah pada setiap shalat selain shubuh dan witir Ramadlan tidak termasuk Sunnat Ab’adl walaupun status hukumnya tetap sunnat.
Kemudian pada hal : 248 disebutkan :
الْحَنَابِلَةُ قَالُوْا: سُنَنُ الصَّلاَةِ ثَمَانٍ وَسِتُّوْنَ وَهِيَ قِسْمَانِ قَوْلِيَّةٌ وَفِعْلِيَّةٌ، فَالْقَوْلِيَّةُ اثْنَتَا عَشْرَةَ، وَهِيَ دُعَاءُ اْلاِسْتِفْتَاحِ وَالتَّعَوُّذُ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَالْبَسْمَلَةِ …. إِلَى أَنْ قَالَ: وَالْقُنُوْتُ فِي الْوِتْرِ جَمِيْعَ السَّنَةِ.
Artinya :
“Ulama Hanabilah mengatakan : amalan sunnat di dalam shalat itu ada enam puluh delapan, terbagi menjadi dua : Sunnah Qouliyah dan Sunnah Fi’liyah. Sunnah qouliyah ada dua belas : Do’a Iftitah, Ta’awwudz sebelum baca Fatihah, Basmalah, ….. sampai kata-kata Mushonnif : dan membaca qunut pada shalat witir sepanjang tahun”.
Jadi mengenai amaliyah berupa bacaan qunut Shubuh dan witir Ramadlan tetap kita amalkan terus, akan tetapi kita harus menghargai pendapat pihak lain yang tidak mengamalkannya, karena memang ada ulama madzhab selain Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa membaca qunut hanya disunnatkan pada shalat witir saja.

pengertian kyai

 

 Yang pasti persamaan antara ulama Jawa dan Ulama Bugis Makassar adalah sama-sama Ulama, seorang tokoh agama yang kemudian menjadi pemimpin informal ditengah-tengah masyarakat.
Ada yang menarik bila membedah keberadaan kedua ulama ini. Di Jawa, Ulama lebih sregmenggunakan gelar Kyai Haji (KH), sementara di kalangan Bugis Makassar, gelar KH ini dikesampingkan dan lebih suka menggunakan gelar ‘Anre Gurutta Haji’ atau disingkat AGH. Meski di Sulsel, sendiri beberapa tokoh Bugis-Makassar pernah menggunakan gelar KH, diantaranya KH. Ali  Yafie, mantan Ketua MUI. Namun seiring perkembangannya, gelar KH di Sulsel menghilang dan menggantinya dengan gelar AGH bukan KH? Seperti ulama-ulama pesohor lainnya di nusantara. Apakah terjadi pergeseran nilai dikalangan KH?, ataukah AGH hanya cermin identitas orang-orang Bugis Makassar?
Memang tidak semua ulama di Jawa menggunakan gelar Kyai Haji ini. Biasanya hanya digunakan oleh kalangan Nahdliyin. Sebut saja KH. Wakhid Hasyiem, KH. Hasyiem As’arie, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Mustofa Bisri, dan lain sebagainya. Muhammadiyah jarang sekali. Nama KH bagi seorang Muhammadiyah hanya melekat pada pendirinya ‘KH Ahmad Dahlan’. Tapi seorang ulama se modern Din Syamsuddin (berasal dari Lombok), tidak pernah menggunakan gelar tersebut, dan lebih melekat pada gelar akademiknya. Prof Dr Din Syamsuddin.
A, Haedar Ruslan, seorang guru di Pondok Pesantren Daarul Ma’arif Bandung dalam tulisannya berjudul ‘Dinamika Kepemimpinan Kyai Di Pesantren’ menulis tentang seluk beluk dan arti Kyai. Menurutya, Kyai berasal dari Bahasa Jawa Kuno ‘Kiya-Kiya’ yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan untuk; pertama, pada benda atau hewan yang dikeramatkan seperti Kyai Plered (tombak), Kyai Rebo dan Kyai Wage (Gajah di kebun binatang Gembira Loka Yokyakarta). Kedua, pada orang tua pada umumnya, ketiga, pada orang yang memiliki keahlian dalam Agama Islam yang mengajar santri di Pesantren.
Secara terminologi, menurut Manfred Ziemnek, pengertian Kyai adalah Pendiri atau pemimpin sebuah pesantren,  sebagai muslim “terpelajar” yangtelah membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata “kyai” disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam. ( Moch. Eksan, 2000 ).
Abdurrahman Mas’ud (2004, 236-237) memasukkan Kyai kedalam lima tipologi, yakni
1.      Kyai (ulama) encyclopedi dan multidispliner yang mengonsentrasikan diri dalam dunia ilmu; belajar,  mengajar, dan menulis, menghasilkan banyak kitab seperti Nawai Al-Bantani.
2.    Kyai yang ahli dalam salah satu spesialisai bidang ilmu pengetahuan Islam. Karena keahlian meraka dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan pesantren, mereka terkadang dinamai sesuai dengan spesialisasi mreka, misalnya pesantren Al-quran.
3.      Kyai Kharismatik, yang memperoleh karismanya dari ilmu pengetahuan keagaamaan, khususnya sufisme, seperti KH. Kholil Bangkalan Madura.
4.      Kyai Dai Keliling, yang perhatian dan keterlibatannya lebih besar melalui ceramah dalam menyampaikan ilmunya sebagai bentuk interaksi dengan publik bersamaan dengan misi Sunnisme atau Aswaja dengan bahasa retorika efektif.
5.      Kyai Pergerakan, yakni karena peran dan skill kepemimpinannya yang luar biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya, sehingga menjadi pemimpin yang menonjol. Seperti KH. Hasyiem Asyarie.
Lima kriteria Kyai versi Abdurrahman Mas’ud inilah, sepertinya masuk dalam kategori ‘Ulama Bugis Makassar. Mungkin subjektif, sebab ulama-ulama Bugis Makassar dengan gelar ‘Anre Gurutta Haji’ adalah sosok yang kharismatik, dipercaya masyarakat, fatwah-nya di ‘takuti’, seorang sufi dan umumnya berusia 60 tahun keatas. Seperti AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, AGH. Assa’ad, AGH Daud Ismail (Gurutta Daude), AGH. Pabbaja, AGH Yunus Martang, hingga ulama modern Bugis Makassar saat ini, AGH. Sanusi Baco.
Jarang skali terdengar ada seorang Bugis Makassar, yang ahli dan cendekia dalam bidang Agama Islam dan ke-sufi-annya, dengan umur 50 tahun ke bawah menggunakan gelar AGH atau KH. Biasanya, mereka lebih sreg dipanggil ‘uztads’ saja. Entah kenapa, tetapi di panggil pak Kyai Haji, bagi mereka ‘terlalu berlebihan’, bahkan merasa tak lazim.
Terminologi AGH
            Menurut penulis, dari kata perkata, AGH atau Anre Gurutta Haji berasal dari tiga suku kata yakni; ‘Anre’ yang berarti  ‘tempat belajar’ (bukan Manre = makan), Gurutta  yang berarti Guru Kita (Guru semua lapisan masyarakat), dan Haji atau orang yang pernah melaksanakan ritual ibadah haji, sebagai penyempurna dari Rukun Islam.
            Wajar saja kemudian, bila pengguna AGH bagi kalangan ulama Bugis Makassar, hanya diberikan oleh publik bagi seorang yang sufistik, berusia lanjut karena dianggap matang, serta punya ‘karomah’ tersendiri yang kemudian diposisikan sebagai orang yang paling dihormati, jauh dihormati ketimbang pejabat tinggi, atau bahkan yang bergelar proffessor sekalipun. Bahkan seorang pemuda, yang telah menghafal Al-quran 30 Juz, menguasai seluk beluk agama Islam dari A hingga Z, menimba ilmu di Timur Tengah, begitu kembali ke Sulawesi Selatan, biasanya hanya senang digelari ‘uztadz’ saja. Layaknya di Jakarta kepiawaian seorang ulama muda hanya suka menggunakan gelar Uztads saja, seperti;  Ustadz Yusuf Mansur, Ustadz Jefri Al-Buchori hingga Ustazd Arifin Ilham.
Banyak ‘Kyai Haji’ Muda.
Jumat malam lalu, 28 Mei 2010, di Masjid Raya Kota Baubau Sulawesi Tenggara digelar zikir akbar dengan menghadirkan dua orang ulama asal Jakarta, lengkap dengan gelar akademik dan gelar keagamaannya. Namanya ditulisan masing-masing Drs. KH………………………….,MA (maaf tidak menuliskan nama). Ketika Walikota Baubau memberi sambutan dan menyebut nama kedua ulama tersebut, sang walikota menyebut nama beliau dengan ‘Yang Terhormat, Ustadz Drs, Kyai Haji…………………………………….MA. Penyebutan nama ini pula diikuti oleh sang protokl acara.
Sengaja atau tidak, pemberian kata Ustadz didepan kata KH adalah protes ‘alam bawah sadar’ seorang Walikota. Maklum, di Sulawesi pada umumnya, gelar KH tidak lazim bagi seorang ulama yang masih berusia muda.
Di Baubau sendiri, gelar KH baru kesohor pada seorang ulama saja, namanya KH Syukur, seorang ulama besar yang kini telah meninggal dunia, dan sangat berjasa dalam siar Islam di beberapa wilayah di Pulau Buton.
Belakangan, ada dua orang lagi bergelar Kyai Haji, yang masing-masing memimpin pondok pesantren di kota ini. Meski secara formal, gelar KH diberikan pada keduanya saat ada kegiatan yang bersifat formal, namun dalam penyebutan sehari-hari, masyarakat lebih sreg memanggilnya ‘ustads’ saja. Entah kenapa, yang pasti keduanya berusia terbilang muda.
Sepakat Dengan Gus Mus
Sebagai perenungan, mungkin baiknya kita banyak membaca tulisan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (baca di  www.gusmus.net ) dalam tulisannya yang berjudul, Ulama, Kyai, Muballig dan Artis..berikut ulasan Gus Mus;
Konon istilah mula-mula muncul sebagai kesepakatan sesuatu kelompok atau kalangan tertentu. Istilah-istilah hadis, misalnya, muncul dari kesepakatan kalangan muhadditsin; istilah-istilah kesenian dari kalangan seniman; dan. seterusnya. Namun kemudian istilah-istilah yang beredar di masyarakat itu sering mengalami  kerancuan pengertian. Antara lain, karena orang seenaknya saja menggunakan istilah itu, dan tidak mau —atau tak sempat— merujuk ke sumber asalnya. Kerancuan itu ternyata membawa dampak dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang terjadi dengan istilah “ulama”, “kiai” dan “mubalig”. Celakanya, yang bersangkutan -yang dengan tidak tepat disebut ulama, kiai, atau mubalig— biasanya malah mcrasa bangga dan tidak membantah. Kalaupun membantah, biasanya dengan gaya basa-basi, sehingga semakin mendukung penyebutan itu, atau setidaknya makin mengaburkan maknanya.
Sebab, meskipun sebutan ulama, kiai, atau mubalig itu mengundang kehormatan dan tanggung
jawab, yang segera tampak menggiurkan justru kehormatannya. Baru setelah yang bersangkutan terbukti melakukan hal yang tak sesuai dengan maqam, atau kedudukan terhormat itu, orang menjadi bingung sendiri. Yang lebih merepotkan, istilah “ulama” yang beredar dalam masyarakat kita -seperti berbagai istilah lain- mempunyai “kelamin ganda” dan berasal tidak hanya  dari satu sumber. Dalam bahasa Indonesia, ulama berarti “orang yang ahli dalam  hal atau dalam pengetahuan agama Islam” (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm.  985). Sedangkan di Arab sendiri, ‘ulama (bentuk jamak dari ‘alim) hanya mempunyai  arti “orang yang berilmu”.
‘Ulama dalam peristilahan itulah yang sering disebut-sebut ulama sebagai waratsatul anbiyaa (pewaris para Nabi). Merekalah yang disebut sebagai hamba Allah yang paling takwa, pelita ummat dan sebagainya. Banyak definisi mengenainya, tetapi semuanya mengacu kepada satu pokok pengertian: ilmu dan amal.  Karena itu, disamping menguasai kandungan Al-Qur’an dan Sunnah, mereka juga -sebagaimana Nabi- mesti yang pertama mengamalkannya. Sebagai pewaris Nabi,  setidaknya ulama mewarisi -di atas rata-rata ummat mereka- ilmu, ketakwaan, kekuatan iman, akhlak mulia, rasa tidak tahan melihat penderitaan ummat,  pengayoman, keberanian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dan keikhlasan  serta keuletan dalam mengajak kepada kebaikan.
Dengan kelebihan-kelebihan itu, ulama tentulah merupakan hamba-hamba yang paling takwa kepada Allah.  Dari sini saja, kita -atau setidaknya saya- merasa pesimistis: apakah kini masih  ada ulama? Ada saatnya ulama dengan pengertian itu menjadi sinonim dari istilah Kiai yang lebih bersifat budaya dalam masyarakat kita.
Bila orang menyebut kiai, segera teringat pengertian ulama pewaris Nabi itu. Kenapa? Karena, meski dari segi ilmu dan lain sebagainya, kiai -betapapun hebatnya- tidak bisa mendekati ulama seperti yang dicontohkan dalam kitab-kitab kuning. Setidaknya masyarakat  masih melihat mereka mewarisi sifat-sifat keteladanan mulia dan pengayoman yang teduh. Mereka membangun surau dan pesantren untuk kepentingan masyarakat.  Mendarmakan hidupnya untuk Allah melalui khidmah (pelayanan)-nya kepada ummat.
Karena itu, bahkan tidak hanya kiainya secara pribadi, tapi juga keluarga dan putra-putranya dihormati. Putranya yang laki-laki diberi julukan terhormat: (ba)gus, dengan harapan kelak akan menjadi kiai sebagaimana ayahnya.
Penghormatan yang terlalu dini kepada gus inilah yang mungkin sering justru mencelakakan yang bersangkutan. Apalagi bila ternyata kemudian -setelah sampai saatnya menggantikan orang tuanya- kapasitas ilmu maupun keteladanan; budi pekertinya tidak mampu mengatrolnya, minimal mendekati kapasitas orang tuanya.
Di pesantren, disamping pengajaran, sebenarnya yang lebih penting lagi adalah pendidikan kiainya. Sulitnya, menyerap pendidikan tidak semudah menyerap  pelajaran. Maka janganlah heran apabila kemudian lebih banyak santri yang menjadi  pintar ketimbang yang berakhlak.
Dari segi penampilan, boleh jadi orang yang pintar lebih tampak wah dan cepat  ngepop. Dengan menggelar ilmunya, orang akan segera terpesona dan teringat kepada  kiai sepuh yang juga berilmu. Apalagi jika pandai bicara, dijamin cepat kondang. Orang pun lalu menyebutnya sebagai kiai mubalig.
Istilah kiai mubalig ini pun agak rancu. Apalagi akhir-akhir ini di mana-mana muncul mubalig yang tak jarang dengan sendirinya disebut kiai. Mungkin karena keterbatasan memahami hadis “Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat,” maka meskipun hanya punya satu ayat-dua ayat, ditambah ghirah ber-amar ma’ruf nahi munkar, plus modal pintar ngomong jadilah seseorang sebagai mubalig. Karena sebelumnya ada kiai yang bertablig, maka siapa pun yang bertablig disebut juga kiai.
Lalu, seiring dengan maraknya kebidupan keagamaan, artis yang memang luwes dan pelawak yang memang pintar bicara, yang beragama Islam, pun tak mau hanya mendapatkan ‘fid-dunya hasanah’. Mengapa tidakjuga mencari ‘fid-akhirati khasanah’ Bukankah gerak-kegiatannya tidak begitu berbeda dan bahan tersedia di mana-mana? Dan kiprah mereka di mimbar taklim tak kalah dengan di pentas show, bahkan tak jarang mengalahkan mubalig betulan.
Begitulah, lalu menjadi campur-aduk -barangkali sesuai zaman globalisasi! Yang ulama, yang kiai, yang mubalig kiai (kiai yang bertablig), yang kiai mubalig disebut kiai karena tablig), yang artis mubalig, dan yang mubalig artis, semuanya menjadi sulit dibedakan. Apalagi bila gaya ulama dan kiai -termasuk berfatwa- juga dengan baik telah ditiru mubalig dan artis; gaya mubalig dan artis -termasuk “keluwesan” pergaulan dan glamour- juga sudah menulari ulama dan kiai.
Masya Allah! Tuhan, apalagi yang hendak Engkau pertunjukkan kepada kami? Ampunilah kami semua!  (**)
                                                                                                Baubau, 29 Mei 2010
foto-foto dari atas ke bawah adalah ulama-ulama bugis-makassar masing-masing;
1. AGH. Abdurrahman Ambo Dalle (Gurutta Ambo Dalle)
2. AGH. Daud Yunus (Gurutta Daude)
3. AGH. Pabbaja (Gurutta Pabbaja)
4. AGH. Muh. As’ad (Gurutta Saade’)
5. AGH. Yunus Martan (Gurutta Yunusu’)

Kita senantiasa memanjatkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Rasulullah:

وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ

 

Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad Rasulullah

 

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيما

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawat salamlah kepadanya. (QS Al-Ahzab 33: 56)

 

Shalawat dari Allah berarti rahmat. Bila shalawat itu dari Malaikat atau manusia maka yang dimaksud adalah doa.

Sementara salam adalah keselamatan dari marabahaya dan kekurangan.

Tidak ada keraguan bahwa membaca shalawat dan salam adalah bagian dari pernghormatan (tahiyyah), maka ketika kita diperintah oleh Allah untuk membaca shalawat -yang artinya mendoakan Nabi Muhammad- maka wajib atas Nabi Muhammad melakukan hal yang sama yaitu mendoakan kepada orang yang membaca shalawat kepadanya. Karena hal ini merupakan ketetapan dari ayat:

فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

 

Maka lakukanlah penghormatan dengan penghormatan yang lebih baik atau kembalikanlah penghormatan itu. (QS. An Nisa’: 86)

 

Doa dari Nabi inilah yang dinamakan dengan syafaat. Semua ulama telah sepakat bahwa doa nabi itu tidak akan ditolak oleh Allah. Maka tentunya Allah akan menerima Syafaat beliau kepada setiap orang yang membaca shalawat kepadanya.

Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan membaca shalawat kepada Nabi. Diantaranya:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ

Barangsiapa berdoa (menulis) shalawat kepadaku dalam sebuah buku maka para malaikat selalu memohonkan ampun kepada Allah pada orang itu selama namaku masih tertulis dalam buku itu.

مَنْ سَرَّهُ أنْ يُلْقِى اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ رَاضٍ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ

Barangsiapa yang ingin merasa bahagia ketika berjumpa dengan Allah dan Allah ridlo kepadanya, maka hendaknya ia banyak membaca shalawat kepadaku (Nabi).

مَا أكْثَرَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَيَّ فِيْ حَيَاتِهِ أَمَرَ اللهُ جَمِيْعَ مَخْلُوْقَاتِهِ أنْ يَسْتَغْقِرُوا لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ

Barangsiapa membaca shalawat kepadaku di waktu hidupnya maka Allah memerintahkan semua makhluk-Nya memohonkan maaf kepadanya setelah wafatnya.

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ ثُمَّ تَقًرَّقُوْا مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ وَصَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ إلَّا قَامُوْا عَنْ أنْتَنَ مِنْ حِيْفَةٍ

Mereka yang berkumpul (di suatu majlis) lalu berpisah dengan tanpa dzikir kepada Allah dan membaca shalawat kepada nabi, maka mereka seperti membawa sesuatu yang lebih buruk dari bangkai.

Para ulama sepakat (ittifaq) diperbolehkannya menambahkan lafadz ‘sayyidina‘ yang artinya tuan kita, sebelum lafadz Muhammad. Namun mengenai yang lebih afdhol antara menambahkan lafadz sayyidina dan tidak menambahkannya para ulama berbeda pendapat.

Syeikh Ibrahim Al-Bajuri dan Syeik Ibnu Abdis Salam lebih memilih bahwa menambahkan lafadz sayyidina itu hukumnya lebih utama, dan beliau menyebutkan bagian ini melakukan adab atau etika kepada Nabi. Beliau berpijak bahwa melakukan adab itu hukumnya lebih utama dari pada melakukan perintah (muruatul adab afdholu minal imtitsal) dan ada dua hadits yang menguatkan ini.

Yaitu hadits yang menceritakan sahabat Abu Bakar ketika diperintah oleh Rasulullah mengganti tempatnya menjadi imam shalat subuh, dan ia tidak mematuhinya. Abu bakar berkata:

مَا كَانَ لِابْنِ أَبِيْ قُحَافَةَ أَنْ يَتَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ

Tidak sepantasnya bagi Abu Quhafah (nama lain dari Abu Bakar) untuk maju di depan Rasulullah.

Yang kedua, yaitu hadits yang menceritakan bahwa sahabat Ali tidak mau menghapus nama Rasulullah dari lembara Perjanjian Hudaibiyah. Setelah hal itu diperintahkan Nabi, Ali berkata

لَا أمْحُو إسْمَكَ أَبَدُا

Saya tidak akan menghapus namamu selamanya.

Kedua hadits ini disebutkan dalam kitab Shahih Bukhori dan Muslim.Taqrir (penetapan) yang dilakukan oleh Nabi pada ketidakpatuhan sahabat Abu Bakar dan ali yang dilakukan karena melakukan adab dan tatakrama ini menunjukkan atas keunggulan hal itu.

 

 

KH Abd. Nashir Fattah

Rais Syuriah PCNU Jombang

Dihimpun oleh Sholehuddin SH dari pengajian Kitab Qurratul Ain Bimuhimmatid Din di masjid baiturrahman Jlopo Tebel Bareng yang diikuti oleh Pengurus MWCNU dan Ansor Kecamatan Bareng

 

Sumber : http://www.nu.or.id

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Oleh:  Ust. Achmad  Rofi’i, Lc.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,

Sebetulnya banyak sekali bahasan tentang Sholawat. Ada Kitab khusus yang berkenaan dengan itu, yaitu Kitab Jalaa’ul Al Afhaam Fishsholaati ‘Alaa Khoiril Anaam yang ditulis oleh Imaam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah رحمه الله. Kitab itu tebal, sehingga tidak mungkin kita bahas satu per satu baik huruf maupun halamannya dalam waktu yang singkat, oleh karena itu pembahasan akan kita ambil dari Kitab At Ta’addub Ma’a Rosuulillaahi Fi Dhou’i Al Kitaabi Was Sunnah (Sopan Santun terhadap Rosuulullooh Menurut Al Qur’an dan As Sunnah) yang ditulis oleh Syaikh Hasan Nur Hasan.

Dalam Kitab tersebut, Syaikh Hasan Nur Hasan menulis, bahwa bila dibagi-bagi bahasannya, maka tidak akan kurang dari 5 bahasan yakni:

1. Pengertian Sholawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم secara bahasa maupun secara istilah

2. Hukum Syar’ie dalam mengucapkan Sholawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم

3. Redaksi-Redaksi yang terdapat dalam riwayat-riwayat mana yang mengajarkan tentang Sholawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم.

Kita tahu bahwa Sholawat itu adalah Ibadah. Karena merupakan Ibadah, maka tidak boleh “mengarang sendiri”. Harus ada contoh atau tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan contoh itu sudah ada dan sudah lengkap, serta contoh itu juga harus lah menurut Hadits-Hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang shohiih.

4. Kapan dan dimana kita disyari’atkan mengucapkan Sholawat itu.

5. Pahala dan apa yang akan kita dapat, kalau kita mengucapkan Sholawat.

 

Bahasannya mungkin tidak dapat selesai dalam satu kali tulisan, tetapi bisa dalam beberapa kali. Namun dalam mengkaji Ilmu memang harus bersabar dan kontinyu, dan insya Allooh bahasan akan kita sederhanakan agar praktis dan dapat diketahui serta dengan mudah diamalkan apa yang menjadi Syari’at dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berkenaan dengan Sholawat.

 

Pengertian Sholawat

Sholawat dalam bahasa Arab adalah Ash Sholat (الصلاة). Tetapi pengertian umum di negeri kita Indonesia ini, Sholat adalah sholat lima waktu, yaitu yang disebut juga dengan Ash Sholawat Al Maktuubah (الصلوات المكتوبة), atau Sholawat Al Mafruudhoh (الصلوات المفروضة).

Sedangkan yang berkenaan dengan bahasan kita, yaitu Ash Sholat (Sholawat), biasanya ada kalimat berikutnya yaitu “’Alaa”, menjadi: Ash Sholaatu ‘Alan Nabi (الصلاة على النبي), Ash Sholaatu ‘Alar Rosuulillaah صلى الله عليه وسلم الصلاة على رسو الله)), atau Ash Sholawatu ‘Alan Nabi (الصلوات على النبي), Ash Sholawatu ‘Alar Rosuulillaah صلى الله عليه وسلم (الصلوات على رسول الله).

Tetapi, dalam bahasa Indonesia biasanya digunakan kata: Sholawat.

Dalam bahasa Arab, Al Imaam Al Jauhary, Imaam Fairuz Abadiy dan Imaam-Imaam yang lain menyebutkan bahwa yang dimaksud Ash Sholat (Sholawat) secara bahasa, artinya adalahDo’a (Permohonan).

Dalam kamus yang lain, Sholawat juga berarti:

–          Du’aa (Permohonan)

–          Rohmah (Kasih Sayang)

–          Istighfaar (Permohonan ampun kepada Allooh سبحانه وتعالى)

–          Ta’dziim (Pengagungan, penghormatan, sanjungan)

Maka, para ‘Ulama menyatakan bahwa Ash Sholat (Sholawat) bermakna gabungan, yaitu bisa bermakna: Do’a, Kasih Sayang, Permohonan Ampun dan Pengagungan atau Permohonan Barokah dari Allooh سبحانه وتعالى.

Yang paling sering kita pahami adalah Sholat itu berarti Do’a. Bahwa Sholat lima waktu, misalnya, diartikan sebagai Do’a. Karena memang bila kita renungkan, bahwa Sholat lima waktu itu sejakTakbiirotul Ihroom sampai dengan Salaam isinya adalah Do’a. Bahkan selesai sholat pun, kita masih berdo’a Astaghfirullooh, Astaghfirulloooh, Astaghfirullooh, dan seterusnya. Itu semua adalah Do’a.

Adapun pengertian Sholat (Sholawat) atas Nabi صلى الله عليه وسلم, menurut para ‘Ulama maksudnya adalah: “Sanjungan yang baik dari Allooh سبحانه وتعالى kepada Rosuululloohصلى الله عليه وسلم”.

Maka kalau kita membaca dalam Al Qur’an Surat Al Ahzaab (33) ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

Artinya:

Sesungguhnya Allooh dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Maksudnya adalah bahwa Allooh سبحانه وتعالى menyanjung, memuji Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Itulah seperti yang dikatakan oleh Al Imaam Fairuuz Aabaadiy.

 

Oleh Imaam yang lain, yaitu Al Imaam Al Jurjaani dalam Kitabnya At Ta’rifaat, beliau mengatakan:

Sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم maksudnya adalah memohon kepada Alloohسبحانه وتعالى agar mengagungkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم baik di dunia maupun di akhirat.”

 

Beberapa penjelasan, misalnya adalah perkataan para ‘Ulama yang lain yaitu Al Qodhy Ismaa’iil Al Jahdzomiy, beliau menukil perkataan Abul ‘Aaliyah رحمه الله (sala seorangTaabi’iin), bahwa Sholawat Allooh سبحانه وتعالى kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, maksudnya adalah memuji (menyanjung)Allooh سبحانه وتعالى memuji, menyanjung Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Tetapi Sholawat Malaikat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maksudnya adalah mendo’akan.

 

Imaam Adh Dhohaak, beliau dari kalangan Ahli Tafsir Al Qur’an dan beliau juga adalah Ahli Hadiits, beliau mengatakan: “Allooh سبحانه وتعالى mengucapkan sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maksudnya adalah Allooh سبحانه وتعالى melimpahkan kasih sayang-Nya kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dan kalau Malaikat mengucapkan sholawat atas Rosuulullooh  صلى الله عليه وسلم maksudnya adalah mendo’akan.”

Lalu kata beliau lagi, “Sholat Allooh سبحانه وتعالى kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, artinya adalah Pemberian ampunan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sedangkan dari Malaikat maknanya adalah berdo’a.”

 

Kesimpulannya:

Sholawat Allooh سبحانه وتعالى terhadap Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maknanya adalah: Sanjungan, Kasih-Sayang, Ampunan.

Sholawat Malaikat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maknanya adalah: Mendo’akan.

Perkataan Imaam yang lainnya, yaitu Al Imaam Al Haliimiy, penulis Kitab Al Minhaaj, yang diringkas oleh Al Imaam Al Baihaqy رحمه الله dalam Kitab Syu’abul ‘Iimaan, beliau mengatakan: “Kalau kita mengucapkan “Alloohumma Sholli ‘alaa Muhammad”, artinya Sholawat kita kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu bermakna: Mendo’akan untuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمsupaya Allooh سبحانه وتعالى mengagungkan, meninggikan derajat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan memohon semua itu dari Allooh سبحانه وتعالى.”

Jadi, bukan berarti kita yang mengagungkan, meninggikan derajat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, karena kita tidak bisa melakukan semua itu.

 

Hanya Allooh سبحانه وتعالى yang bisa melakukannya. Dengan demikian, yang benar adalah: Kita memohon kepada Allooh سبحانه وتعالى : “Ya Allooh, agungkanlah dan tinggikanlah derajat serta berikanlah ampunan kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.”

 

Imaam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah رحمه الله dalam Kitabnya yakni Kitab Jalaa’ul Al Afhaam Fishsholaati ‘Alaa Khoiril Anaam, beliau mengatakan:

Sholawat yang diperintahkan kepada kita adalah memohon, meminta kepada Allooh سبحانه وتعالى yaitu tentang apa yang Allooh سبحانه وتعالى beritakan bahwa Allooh سبحانه وتعالى mengucapkan sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, Malaikat mengucapkan sholawat atas Rosuululloohصلى الله عليه وسلم. Berita ini adalah memohon supaya Allooh سبحانه وتعالى menyanjung, menyatakan, menampakkan keutamaan, kemuliaan dan mendekatkan Rosuulullooh  صلى الله عليه وسلم dengan Allooh سبحانه وتعالى.”

 

Karena itu, Sholawat yang dimaksudkan bahwa didalamnya mengandung berita sekaligus permohonan (do’a) itu mempunyai 2 (dua) perkara:

1. Bahwa Sholawat kita adalah menyanjung, menyebut berbagai kemuliaan dan keutamaan, serta menginginkan dan mencintai Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dan berharap yang demikian pula dari Allooh سبحانه وتعالى.

Dengan demikian maka ada 2 makna yaitu: Allooh سبحانه وتعالى memberitahukan bahwa Dia (Alloohسبحانه وتعالى) mengucapkan Sholawat dan kita hendaknya juga mengucapkan Sholawat, sebagaimana hal itu telah diperintahkan-Nya dalam Surat Al Ahzaab (33) ayat 56.

2. Dari kita juga disebutkan Sholawat, adalah agar kita memohon kepada Allooh سبحانه وتعالى supaya Dia (Allooh سبحانه وتعالى) mengucapkan Sholawat yang artinya adalah menyanjung, mengagungkan, memuliakan serta meninggikan derajat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

 

Kesimpulan:

Yang dimaksudkan dengan Sholawat adalah:

1. Sholawat dari Allooh سبحانه وتعالى kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم

2. Sholawat dari Malaikat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم

3. Sholawat dari kita (manusia) kepada Rosuullooh صلى الله عليه وسلم.

 

Hukum Ber-Sholawat

Landasannya adalah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Ahzaab (33) ayat 56, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Yaitu Allooh سبحانه وتعالى dan Malaikat memberikan sholawat kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan memerintahkan kita (manusia) agar juga ber-sholawat kepada beliau صلى الله عليه وسلم.

Bahkan bukan hanya ber-sholawat, tetapi juga merupakan Salam untuk beliau صلى الله عليه وسلم.

Jadi ada 2 bahasan yaitu Sholawat dan Salam. Tentang Salam, kita lebih mengenalnya sepertiAssalamu’alaikum, Assalamu’alaika, Assalamu ‘alan Nabiy Warohmatulloohi Wabarokaatuhu. Itu lebih kita kenal dan mudah dipahami, maka hal ini tidak akan dibahas secara panjang lebar. Namun demikian, insya Allooh tetap akan kita bahas.

Karena Allooh سبحانه وتعالى memberikan sholawat kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, serta memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya juga mengucapkan sholawat kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Dengan demikian, kita harus meyakini bahwa mengucapkan Sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah perintah Allooh سبحانه وتعالى. Bahkan juga merupakan perintah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu, bila ada orang yang menyatakan bahwa ia tidak suka dan benci Sholawat, maka itu adalah Salah dan berarti ia bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah.

 

Karena Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah itu meyakini kebenaran Al Qur’an dan Hadiits.

Al Qur’an memerintahkan, lalu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pun memerintahkan. Hal ini menunjukkan bahwa Sholawat itu DIAJARKAN.

Karena diajarkan, maka Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah meyakini bahwa Sholawat itu adalah Ibadah.

Oleh karena merupakan Ibadah, maka kita tidak boleh menggunakan hawa-nafsu atau perasaan atau emosi.

Kalau ada orang yang tidak suka “ber-sholawat sesuai dengan sholawat yang banyak beredar di masyarakat”, maka orang tersebut dikatakan “Kamu benci sholawat ya?”, “Kamu bukan Ahlus Sunnah..” dan seterusnya.

 

Padahal, hendaknya caci maki tersebut ditahan terlebih dahulu, jangan emosional, tetapi hendaknya dipahami mengapa orang tersebut enggan mengucapkan “sholawat sebagaimana yang banyak beredar di masyarakat (seperti: sholawat Nariyah, sholawat Badriyah dll)”.

 

Hal tersebut adalah karena orang tersebut tidak mau mengucapkanSholawat yang redaksinya tidak ada tuntunannya dari Rosuulullooh  صلى الله عليه وسلم atau Sholawat yang tidak Syar’ie sebagaimana yang banyak beredar di masyarakat. Jadi jangan disalah pahami. Bukannya karena dia tidak mau ber-sholawat, tetapi Redaksi Sholawat itu harus lah sesuai tuntunan dan contoh dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Jadi dia tidak mau ber-sholawat dengan redaksi sholawat hasil “karangan manusia”, karena Sholawat itu adalah Ibadah, maka Redaksi (kata-kata) Sholawat itu HARUSLAH yang sesuai dengan Hadits yang Shohiih karena itulah yang berasal dari Wahyu.

Oleh karena itu, sebelum mencaci maki seseorang yang tidak mau ber-“sholawat sebagaimana sholawat yang beredar di masyarakat”, hendaknya dipahami dahulu dengan ‘Ilmu (dien) apa alasannya sehingga dia tidak mau bersholawat dengan redaksi sholawat-sholawat  buatan manusia yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali.

Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah meyakini bahwa orang yang membenci ber-Sholawat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu bisa menjadi Kufur, karena berarti ia melawan firman Allooh سبحانه وتعالى.

Hendaknya kita menjadikan Sholawat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah perintah Allooh سبحانه وتعالى, berarti merupakan bagian dari Syari’at Islam, bagian dari Sunnah Rosuul صلى الله عليه وسلم dan bagian dari Ibadah, dimana dengannya kita mendekatkan diri kepada Allooh سبحانه وتعالى.

 

Perkataan Para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah

Al Imaam Abu Bakr Al ‘Aamiry, beliau mengatakan: “Ada pun hukum mengucapkan Sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم adalah Wajib dengan Ijma’. Jadi Ahlus Sunnah meyakininya sebagai Ijma’. Maka Al Qur’an memerintahkan, As Sunnah memerintahkan dan Ijma’ (kesepakatan para ‘Ulama) juga mengatakan bahwa Sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم itu Wajib hukumnya.”

Berarti orang yang tidak ber-sholawat kepada Rosuul صلى الله عليه وسلم itu bisa dikenakan hukum berdosa. Mengapa disebut Wajib? Karena perkara Sholawat itu telah diperintahkan berdasarkan ayat yang mulia seperti telah dijelaskan diatas yakni dalam QS. Al Ahzaab (33) ayat 56.

Akan tetapi Sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم itu tidak ditentukan waktunya maupun bilangannya. Berarti tidak boleh ada orang yang membuat ketetapan sendiri bahwa Sholawat itu hendaknya dilakukan pada malam Jum’at dengan sekian kali jumlahnya, dan seterusnya. Karena ketetapan seperti itu tidak ada. Sholawat adalam Ibadah, jadi harus berlandaskan kepada daliil yang shohiih. Tidak boleh kita mengamalkan sesuatu yang tidak ada landasannya dari Wahyu sama sekali.

 

Al Imaam As Sakhoowiy رحمه الله, menukil dari guru beliau yang bernama Al Haafidz Ibnu Hajar Al Asqolaany رحمه الله (Imaam dari madzab Asy Syaafi’iy), kata beliau: “Hukum Sholawat atas Nabi itu ada 10 pendapat:

1. Anjuran (Mustahabbah)

2. Wajib secara umum, tanpa ada batas, minimal satu kali.

3. Wajib satu kali seumur hidup, seperti mengucapkan kalimat Asyhaadu ‘alaa Illaaha Illallooh wa asyhaadu anna Muhammadur Rosuulullooh.

Artinya, kalau ada orang yang seumur hidupnya mengucapkan sholawat kepada Rosuul صلى الله عليه وسلم itu sekali-kalinya, maka ia tidak berdosa. Karena ia telah pernah mengucapkan Sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم.

4. Wajib minimal dalam satu kali duduk ketika orang mengakhiri sholat antara ia mengucapkanTasyaahud dan Salaam.

5. Wajib hanya dalam Tasyaahud, sedangkan diluar Tasyaahud maka sholawat itu tidak Wajib. Semua sholawat diluar Tasyaahud adalah Sunnah.

6. Wajib dalam sholat, tetapi tidak  ada ketentuan tempatnya (Yang ini sudah terangkum dalam pendapat ke-4 diatas). 

7. Sholawat hendaknya diperbanyak, tanpa boleh menentukan jumlah (banyak) bilangannya.

8. Wajib ketika disebut nama Muhammad (Rosuulullooh). Setiap kita mendengar nama Nabi (Rosuul) Muhammad disebut, maka kita wajib mengucapkan Sholawat.

9. Wajib dalam satu kali Majlis (duduk), kita hendaknya mengucapkan sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم adalah satu kali. Kalau Majlis (duduknya) berulang-ulang, maka Sholawatnya juga berulang-ulang.

10. Wajib dalam setiap berdo’a. Do’a akan menjadi “mandul”, bila tidak disertai ucapan Sholawat kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Maka, adab dalam berdo’a adalah:

–          Memuji Allooh سبحانه وتعالى

–          Beristighfar

–          Mengucapkan Sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم lalu berdo’a (atau do’anya ditutup dengan Sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم).

Kalau dicermati, sebenarnya 10 pendapat tersebut adalah saling melengkapi. Tetapi dalam pelaksanaannya, sesuai dengan Hadits-Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka sesungguhnya Sholawat itu ada dalam setiap pendapat tersebut.

 

Menumbuhkan Motivasi

Hendaknya kita menumbuhkn motivasi dalam diri kita bahwa kita cinta untuk mengucapkanSholawat dan tidak bakhil (kikir), maka dibawah ini akan disampaikan berbagai daliil dan nashyang mendorong seseorang untuk rajin dan tidak bakhil dalam mengucapkan Sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam bentuk menjelaskan keutamaannya.

Keutamaan mengucapkan Sholawat antara lain adalah sebagai berikut:

Menurut Imaam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah رحمه الله dalam Kitabnya: “Sesungguhnya orang yang memohon agar Allooh سبحانه وتعالى memberi sholawat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلمadalah termasuk do’a yang paling besar dan paling bermanfaat bagi diri orang tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.”

Dalam Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 939, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

Artinya:

Barangsiapa yang mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka Allooh akan balas dengan sepuluh kali lipat.”

Dalam Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 875, dari Shohabat bernama ‘Abdullooh bin Amru bin Al ‘Ash رضي الله عنه, ia berkata: “Aku mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

Artinya:

Jika kalian mendengar mu’adzin (– mengucapkan adzan – pent.), maka katakanlah seperti yang diucapkan oleh mu’adzin. Kemudian ucapkanlah oleh kalian sholawat atasku. Barangsiapa yang mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka Allooh akan membalas (pahala) sholawat atasnya sepuluh kali lipat.

 

Dalam Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2457, lalu beliau berkata bahwa Hadits ini Hasan Shohiih, demikian pula Syaikh Nashiruddin Al Albaany berkata bahwa Hadits ini Hasan, dari Shohabat Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه, beliau berkata,

 يا رسول الله إني أكثر الصلاة عليك فكم أجعل لك من صلاتي ؟ فقال ما شئت قال قلت الربع قال ما شئت فإن زدت فهو خير لك قلت النصف قال ما شئت فإن زدت فهو خير لك قال قلت فالثلثين قال ما شئت فإن زدت فهو خير لك قلت أجعل لك صلاتي كلها قال إذا تكفى همك ويغفر لك ذنبك

Artinya:

Ya Rosuulullooh, sesungguhnya aku memperbanyak sholawat atasmu, berapa banyak yang harus aku ucapkan sholawat atas engkau itu?

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Semaumu”.

Lalu aku (Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه) berkata, “Apakah seperempat?”

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Semaumu, kalau engkau tambah maka itu lebih baik.”

Aku (Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه) bertanya, “Bagaimana kalau setengah?”

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Semaumu, kalau engkau tambah, maka itu lebih baik.”

Aku (Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه) bertanya lagi, “Bagaimana kalau dua pertiga?”

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Semaumu, kalau engkau tambah, maka itu lebih baik.”

Kata Ubay bin Ka’ab رضي الله عنه, “Aku jadikan sholawat semua untukmu ya Rosuulullooh.”

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Insya Allooh Ta’alaa ucapan yang engkau ucapkan itu akan mencukupi kemauanmu.

Demikianlah, barangsiapa yang mengucapkan Sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka Allooh سبحانه وتعالى akan memberi kecukupan atas apa yang menjadi kegundahan dalam hidupnya.

Bahkan dalam sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم selanjutnya: “Dosamu pun akan diampuni.”

Maka bagi siapa yang memiliki banyak problem dalam hidupnya, maka Sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pun ternyata merupakan bagian dari solusi baginya.

 

Lalu dalam Hadits Riwayat Al Imaam ‘Abdur Rozzaq رحمه الله no: 3114, dari Shohabat Ya’qub bin Tholhah At Taimy رضي الله عنه, beliau berkata, “Aku mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

أتاني آت من ربي فقال لا يصلي عليك عبد صلاة إلا صلى الله عليه عشرا قال فقال رجل يا رسول الله إلا أجعل نصف دعائي لك قال إن شئت قال ألا أجعل كل دعائي لك قال إذا يكفيك الله هم الدنيا والآخرة

Artinya:

Telah datang kepadaku seseorang yang datang dari Allooh (– maksudnya: Malaikat – pent.),dan berkata, “Siapa saja dari hamba Allooh yang mengucapkan Sholawat atasmu, maka Allooh akan membalas Sholawat itu sepuluh kali lipat.”

Lalu ada orang yang datang dan berkata kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, “Ya Rosuulullooh, kalau aku jadikan setengah doaku untukmu, bagaimana?

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Jika engkau mau.”

Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana kalau semua do’a itu untukmu, ya Rosuulullooh?

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Kalau semua itu engkau lakukan, maka Allooh akan memberimu kecukupan dari apa yang engkau gundahkan di dunia maupun dalam perkara akhirat.”

Dalam Hadits yang disebutkan oleh Al Mundziriy رحمه الله dalam Kitab At Targhiib Wat Tarhiibno: 1657, dari Shohabat Anas bin Maalik رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

من ذكرت عنده فليصل علي ومن صلى علي مرة صلى الله عليه بها عشرا

Artinya:

Barangsiapa yang aku disebut disisinya, kemudian orang itu mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka Allooh akan gandakan sepuluh kali lipat.”

Dalam Hadits Riwayat Imaam Ahmad dalam Musnad-nya no: 12017, dan menurut Syaikh Syu’aib Al Arnaa’uth bahwa Hadits ini adalah Shohiih dengan Sanad yang Hasan, dari Shohabat Anas bin Maalik رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات وحط عنه عشر خطيئات

Artinya:

Barangsiapa yang mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka akan Allooh lipatgandakan sepuluh kali dan Allooh hapus sepuluh kesalahan.

Juga dalam Hadits Riwayat Imaam An Nasaa’i dalam As Sunnan Al Kubro no: 9890, dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam Shohiih At Targhiib Wat Tarhiibno: 1657, dari Shohabat Anas bin Maalik رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات وحط عنه بها عشر سيئات ورفعه بها عشر درجات

Artinya:

Barangsiapa yang mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka akan Allooh lipat-gandakan menjadi sepuluh kali dan dihapus sepuluh kejelekan, dan ditinggikan derajatnya sepuluh derajat.”

Dan dalam Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory dalam Kitab Al ‘Aadaabul Mufrood no: 642, menurut Syaikh Nashiruddin Al Albaany Hadits ini adalah Hasan, dari Shohabat Anas dan Maalik bin Aus Al Hadatsaan رضي الله عنهما,

أن النبي صلى الله عليه و سلم خرج يتبرز فلم يجد أحدا يتبعه فخرج عمر فاتبعه بفخارة أو مطهرة فوجده ساجدا في مسرب فتنحى فجلس وراءه حتى رفع النبي صلى الله عليه و سلم رأسه فقال أحسنت يا عمر حين وجدتني ساجدا فتنحيت عني ان جبريل جاءني فقال من صلى عليك واحدة صلى الله عليه و سلم عشرا ورفع له عشر درجات

Artinya:

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم keluar untuk buang air besar. Tidak ada yang mengikuti beliau صلى الله عليه وسلم, akhirnya ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه yang mengikutinya sambil membawa air satu bejana untuk bersuci bagi Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Ketika itu beliau صلى الله عليه وسلم menundukkan kepala, lalu ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه berdehem (memberi isyarat), sambil duduk dibelakang beliau صلى الله عليه وسلم. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kemudian mengangkat kepalanya, dan bersabda,

Bagus sekali engkau wahai ‘Umar. Dalam keadaan aku mencari air, engkau membawakan aku air. Jibril datang kepadaku dan mengatakan, “Barangsiapa yang mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka Allooh akan lipat-gandakan menjadi sepuluh kali, dan Allooh akan angkat derajatnya sepuluh derajat.”

 

Masih banyak lagi Hadits-Hadits yang sama dan mirip dengan Hadits diatas, yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa Sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم itu demikian tinggi nilainya, mudah untuk diamalkan tetapi sangat besar pahala dan keutamaannya.

 

Lalu dalam Hadits Riwayat Imaam Ahmad no: 1664, menurut Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth Hadits ini adalah Hasan Lighoirihi:

عن عبد الرحمن بن عوف قال : خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم فتوجه نحو صدقته فدخل فاستقبل القبلة فخر ساجدا فأطال السجود حتى ظننت ان الله عز و جل قد قبض نفسه فيها فدنوت منه فجلست فرفع رأسه فقال من هذا قلت عبد الرحمن قال ما شأنك قلت يا رسول الله سجدت سجدة خشيت ان يكون الله عز و جل قد قبض نفسك فيها فقال ان جبريل عليه السلام أتاني فبشرني فقال ان الله عز و جل يقول من صلى عليك صليت عليه ومن سلم عليك سلمت عليه فسجدت لله عز و جل شكرا

Artinya:

Dari Shohabat ‘Abdurrohman bin ‘Auf رضي الله عنه, beliau berkata, “Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم keluar menuju ke tempat shodaqoh, lalu masuk kemudian menghadap Kiblat dan sujud dan memanjangkan sujudnya. Aku mengira bahwa Allooh سبحانه وتعالى telah mencabut nyawanya disaat sujud, maka aku mendekatinya dan duduk, maka tiba-tiba Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengangkat kepalanya dan bertanya, “Siapa ini?”

Aku menjawab, “’Abdurrohmaan.”

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bertanya, “Apa urusanmu?”

Aku menjawab, “Ya Rosuulullooh, engkau sujud dengan sujud dimana aku takut Allooh سبحانه وتعالى telah mencabut nyawamu.”

Maka beliau صلى الله عليه وسلم menjawab, “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku membawa berita gembira dan berkata,“Sesungguhnya Allooh berfirman, barangsiapa yang mengucapkan sholawat atasmu, wahai Muhammad, dan mengucapkan salam padamu, maka aku (Jibril) pun memberi sholawat dan salam untuk orang itu. Maka aku sujud kepada Allooh سبحانه وتعالى sebagai bagian dari syukurku kepada-Nya.”

 

Juga dalam suatu Hadits sebagaimana dinukil oleh Al Jahdhomy dalam Kitab beliau bernamaFadhlus Sholaat ‘Alan Nabiy no:10, dengan derajat Hasan Lighoirihi, dari Shohabat ‘Abdurrohmaan bin Auf  رضي الله عنه,

عن ابن عوف قال : كان لا يفارق فئ النبي صلى الله عليه وسلم بالليل والنهار خمسة نفر من أصحابه أو أربعة لما ينوبه من حوائجة قال فجئت فوجدته قد خرج فتبعته فدخل حائطا من حيطان الأسواف فصلى فسجد سجدة أطال فيها فحزنت وبكيت فقلت لأرى رسول الله صلى الله عليه وسلم قد قبض الله روحه قال فرفع رأسه وتراءيت له فدعاني فقال : مالك قلت يا رسول الله سجدت سجدة أطلت فيها فحزنت وبكيت وقلت لأرى رسول الله صلى الله عليه وسلم قد قبض الله روحه قال : ( هذه سجدة سجدتها شكرا لربي فيما آتاني في أمتي من صلى علي صلاة كتب الله له عشر حسنات )

Artinya:

Ada 5 orang atau 4 orang sahabat yang tidak pernah berpisah dari fa’i (– harta rampasan perang – pent.) baik di malam hari maupun di siang hari, karena bergiliran memenuhi kebutuhan.”

Beliau (‘Abdurrohman bin Auf) berkata, “Aku datang dan menemui Rosuulullooh صلى الله عليه وسلمtetapi beliau telah keluar, maka aku ikut dan masuklah pada suatu ladang, sehingga beliau صلى الله عليه وسلم sholat dengan sujud yang beliau صلى الله عليه وسلم panjangkan. Sehingga aku sedih dan menangis dan berkata, ‘Aku melihat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah dicabut nyawanya oleh Allooh سبحانه وتعالى .

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Sujud ini kulakukan sebagai syukurku kepada Robb-ku, disebabkan datangnya pada dalam ummatku, “Barangsiapa yang mengucapkan sholawat atasku satu kali, maka Allooh سبحانه وتعالى akan mencatat untuknya sepuluh kebajikan.”

 

Lalu dalam suatu Hadits sebagaimana dinukil oleh Al Jahdhomy dalam Kitab beliau bernamaFadhlus Sholaat ‘Alan Nabiy no: 978, dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abi Tholhah dari ayahnya رضي الله عنهما, beliau berkata,

خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم والبشر يرى في وجهه فقلنا يا رسول الله نرى البشر في وجهك فقال إنه أتاني الملك فقال إن ربك يقول يا محمد أما يرضيك إلا يصلي عليك أحد من أمتك إلا صليت عليه عشرا ولا يسلم عليك إلا سلمت عليه عشرا

Artinya:

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم keluar kepada kami dengan terlihat pada wajahnya sangat berseri-seri.

Maka kami katakan, “Ya Rosuulullooh, kami melihat pada wajah engkau terdapat sesuatu perkara yang menggembirakan.”

Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Ya, karena telah datang kepadaku Malaikat yang mengatakan, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Robb-mu (Allooh سبحانه وتعالى) berfirman, “Apakah engkau ridho wahai Muhammad, karena jika ada seseorang dari ummatmu mengucapkan sholawat atasmu, maka Aku akan mengucapkan kepadanya sepuluh kali. Kalau orang itu mengucapkan salam kepadamu satu kali, maka Aku akan mengucapkan kepadanya sepuluh kali.”

Demikianlah, begitu banyak dalil yang memberikan petunjuk kepada kita agar kita bergiat serta memperbanyak mengucapkan Sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, karena demikian banyak pahala dengan ucapan Sholawat tersebut.

Adapun Imaam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah رحمه الله didalam Kitabnya, menjelaskan bahwa ada 19 (Sembilan belas) faedah dan keuntungan dari mengucapkan Sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tersebut, yaitu:

  1. Berarti kita melaksanakan apa yang menjadi perintah Allooh سبحانه وتعالى
  2. Kita bersesuaian dengan Allooh سبحانه وتعالى, walaupun Sholawat Allooh سبحانه وتعالى kepada Rosuul صلى الله عليه وسلم itu berbeda arti dengan Sholawat kita kepada Rosuul صلى الله عليه وسلم, tetapi Allooh سبحانه وتعالى mengucapkan Sholawat dan kita pun mengucapkan Sholawat.
  3. Bersesuaian dengan Malaikat, yang juga mengucapkan Sholawat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
  4. Kita akan mendapatkan 10 kali Sholawat dari kita yang sekali mengucapkan Sholawattersebut.
  5. Kita akan ditingkatkan menjadi 10 (sepuluh) derajat lebih tinggi dengan sekali ber-sholawat.
  6. Kita dicatat mendapat 10 (sepuluh) kebajikan dari sekali ber-Sholawat.
  7. Kita dihapus 10 (sepuluh) kesalahan, setiap kali kita mengucapkan Sholawat.
  8. Bila orang berdo’a kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka diharapkan dengan mengucapkan Sholawat atas Rosuul صلى الله عليه وسلم, maka do’anya akan di-ijabah (dikabulkan) oleh Allooh سبحانه وتعالى
  9. Menyebabkan orang mendapatkan Syafa’at dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم  (atas izin Allooh سبحانه وتعالى) di akherat
  10. Menjadi penyebab pengampunan dosa dari Allooh سبحانه وتعالى
  11. Menyebabkan Allooh سبحانه وتعالى memberikan kecukupan kepada orang yang ber-Sholawat.
  12. Menyebabkan orang dekat dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم di akherat
  13. Menyebabkan langgengnya (kekalnya) cinta seseorang kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
  14. Menyebabkan seseorang senang kepada manusia, yaitu mencintai sesama orang yang juga mencintai Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
  15. Penyebab terbukanya pintu hidayah bagi orang yang mengucapkan Sholawat. Bahkan hatinya menjadi hidup, peka (sensitif) terhadap hal-hal yang baik.
  16. Termasuk mengucapkan dan menyebutkan nama orang yang membacakan Sholawat itu sendiri.
  17. Merupakan ucapan dari rasa syukur karena Allooh سبحانه وتعالى memberikan kepada kita sehat wal afiyat, kesempatan, rizqy dan seterusnya; yang mana Allooh سبحانه وتعالى memerintahkan kita untuk ber-Sholawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
  18. Mengandung ingatan, rasa terimakasih, dan pengakuan bahwa Allooh سبحانه وتعالى memberi kenikmatan anugerah kepada hamba-Nya dengan cara Allooh سبحانه وتعالى mengutus Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم. Dengan diutusnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka kita ber-Sholawatdan akhirnya kita pun mendapatkan berbagai kebaikan.
  19. Sholawat kepada Rosuulullooh  صلى الله عليه وسلم merupakan do’a dari hamba kepada Allooh سبحانه وتعالى. Do’a yang merupakan permintaan dan do’a yang merupakan ibadah.

Mudah-mudahan setelah penjelasan diatas, kita terbangkit untuk selalu mengucapkan Sholawatatas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Adapun Redaksi Sholawat, mana yang shohiih dan mana yang tidak, insya Allooh akan dibahas pada pertemuan yang akan datang.

Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, Senin malam, 7 Jumadil Awwal 1432 H  –  11 Maret 2011

Sumber: http://ustadzrofii.wordpress.com/2011/05/17/sholawat-kajian-1/

 

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can alway preview any post or edit you before you share it to the world.